-->
  • Jelajahi

    Copyright © BATU BERTULIS NEWS
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Dekranasda Sekadau Ungkap Ada Kain Tenun Ratusan Tahun Dari Sub Suku Dayak Mualang

    Bertulis Network
    Monday 29 July 2024, July 29, 2024 WIB

     

    Kain Kumuk Mualang. 

    Batubertulisnews.com, Sekadau - Unik, Dekranasda Kabupaten Sekadau ungkap ada warga di Kabupaten Sekadau, Provinsi Kalimantan Barat yang memiliki tiga koleksi kain tenun tua yang berusia lebih dari seratus tahun dari Sub Duku Dayak Mualang, Senin, 29 Juli 2024.


    Sekretaris Dekranasda Sekadau, Yulita Oktavia, yang juga Kabid Perindustrian, Kabupaten Sekadau menjelaskan tiga kain tenun itu dimiliki oleh pasangan suami istri Arsenius Meningan dan Hendrika L.  

     

    "Kain tenun itu kategori tenun tua karena usia sudah lebih dari 100 tahun, kainnya itu koleksi pribadi milik Pak Arsenius, disimpan di rumah beliau. Bisa juga dikategorikan tenun bersejarah," kata Yulita. 


    Berdasarkan cerita Tumenggung Labung (Tumenggung Dayak Mualang) yang diceritakan dalam bentuk tulisan oleh Drs. Arsenius Meningan dan istri Hendrika sekaligus sebagai pemilik kain, tiga jenis kain tersebut sebagai berikut:


    KAIN KUMUK MUALANG. 


    Kain Kumuk merupakan Sarung Kehormatan bagi Sub suku Mualang karena sejarah awal menceritakan tradisi pada jaman Ngayau (Perang Antar Suku). Kain Sarung ini biasanya digunakan untuk menari menyambut kedatangan kepala (Tengkorak) hasil kayauan, setelah anak gadis menari membawa “Kain Kumuk” maka Pengayau (Tuak) mengeluarkan tengkorak lalu penari membungkus tengkorak tersebut dengan Kain Kumuk dan dibawa naik ke Ruai (Rumah Panjang). 


    Maka selanjutnya dimulailah acara “Gawai Kepala” biasanya diteruskan dengan Gawai Perkawinan antara “Tuak” dan gadis yang menyambut kepala/tengkorak. Karena syarat seorang laki-laki boleh menikah apabila ia telah memperoleh kepala/tengkorak hasil ngayau.


    Motif Kain Kumuk ini ada 3 (Tiga) yang terpenting yakni motif “Buau Bekayau” yang diartikan hantu saling berhadapan untuk berperang/ saling membunuh yang melambangkan kegagahan/ keperkasaan dan kekuatan fisik. 


    Kedua motif “Raung Berapung” atau gambar kodok yang bersantai pada sungai yang tenang, melambangkan kehidupan yang tenang, aman, tenteram, damai tanpa gangguan dari pihak lain maupun gangguan alam biasanya disebut dengan simbol “Raung Berapung di Nanga Lempak”.


    Ketika motif “Emperusung Ulu Sungai” adalah ikan yang mirip kepala buaya yang biasa hidup di uncak sungai kecil, diambil sebagai simbol atau lambang perantauan orang dayak mulai dari muara sungai sampai puncak hulu sungai, untuk mencari tempat membuka ladang dan menghidupi sanak keluarganya serta sekaligus membuka pemukiman atau perkampungan baru. 


    Setelah tidak ada tradisi “Ngayau” maka Kain Kumuk sering dipakai untuk Pengikat Kepala Para Pemangku Adat (Tumenggung), Tabib (Dukun) dan mereka yang memiliki status sosial tinggi dalam masyarakat pada acara- acara tertentu dan resmi.


    Kain ini tidak boleh dipakai oleh umum atau sembarangan orang karena mengandung mistis, oleh sebab itu pada proses pembuatannya juga mengandung konsekuensi tinggi. Penenunnya harus mampu menyelesaikan dengan baik, jika tenunannya tidak selesai atau berhenti di tengah jalan maka orang tersebut terancam meninggal secara mendadak (Mati Pungkak/ Mati Mantak) atau dengan kata lain mati tanpa tanda/ sebab/ tanpa sakit.


    Atas dasar itulah maka “Kain Kumuk” sangat langka. Khusus untuk kain yang dikoleksi Bapak Arsenius merupakan kain yang ditenun oleh Moyang Perua (Cuit) yang wafat pada tahun 1960 ( Usia diperkirakan 100 tahun), Kain ini ditenun ketika Moyang Perua sudah menikah dan memiliki satu orang anak (Perkiraan sekitar tahun 1883 – 1885).



    BAJU MARAM dan SIRAT PANGET MUALANG. 


    Baju Pengantin laki-laki Mualang dengan motif Kulit Maram (Asam Payak) dengan warna perpaduan merah dan kuning mirip warna kulit maram yang melambangkan pemikat (ketertarikan) seorang gadis pada seorang laki.


    Motif lain ada Cengkok Kelindang (Pakis) yang dipadukan dengan Kaki Kodok (Raung Berapung) bermakna kedekatan kita dengan alam dan keteduhan pemakainya atau dengan kata lain kehidupannya sejuk.


    Pernak pernik lain pada kepala dipasang ikat kepala (Tengkulas) dan pada Lengan dipasang gelang dari kayu (Tengkelai) untuk menunjukkan Keperkasaan pemakainya.




    Pakaian bawahnya disebut “SIRAT PANGET” sebagai celana dengan lilitan panjang pada bagian pinggul dengan rumbai- rumbai sebagai hiasan.


    Motifnya juga sama dengan pakaian atas ada gambar Raung Berapung yang mengandung makna kegagahan/ ketangkasan dan Jengkung Kelindang (Pakis) yang melambangkan kesejukan alam, di bagian pusar (Pinggang) terpasang logam perak yang melambangkan status (derajat) pemakainya.


    Pakaian laki- laki ini juga sering digunakan untuk menunjukkan ketangkasan seseorang dalam bidang seni dan budaya seperti pertunjukan silat dan tari pedang karena pakaian ini dapat mendukung segala gerakan dengan leluasa.


    Pakaian ini ditenun oleh Moyang Perua (Cuit) yang wafat tahun 1960 (Diperkirakan usia beliau 100 tahun). Kain ini ditenun dan dibuat ketika beliau masih gadis (sekitar tahun 1880).



    KAIN PANGET MUALANG. 


    Merupakan Kain Pengantin Wanita Sub Suku Mualang yang merupakan hasil tenunan tradisional yang pada jaman dulu hanya berbentuk kain sarung/ tapih saja. Seiring perjalanan waktu Kain ini kemudian dimodifikasi menjadi bentuk rok dan selempang.


    Motif Kain Panget ini sangat sederhana yaitu memadukan warna hitam dan putih serta terdiri dari motif kotak-kotak, cengkok Pakis/ Jengkong Kelindang dan Pucuk Rebung yang merupakan simbol kesejukan/ keteduhan hidup manusia bersama alam semesta dan sebagai simbol Kemurnian hidup.


    Pernak- pernik lain adalah ikat pinggang, gelang perak dan anting perak, untuk hiasan kepala, Rambut yang disanggul dipasang mahkota perak yang disebut Tanduk Kutu.


    Bahan-bahan perak ini melambangkan status sebagai Ratu sehari atau orang penting pada saat memakainya (Menjadi Ratu Sehari sebagai Pengantin Mempelai Wanita) dalam acara perkawinan. Warna putih pada perak dan motifnya melambangkan kebersihan dan kesucian pemakainya.


    Kain ini ditenun/ di panget oleh Nenek Bunga sekitar tahun 1920 saat Bapak Djeragam berumur 4 tahun (orang tua laki-laki dari Drs. Arsenius Meningan). 


    Komentar

    Tampilkan